Pertempuran
di Km 16 terjadi tanggal 14 Februari 1946 sekitar pukul 09.00 WIB tidak lama
setelah masyarakat setempat selesai merayakan Maulid Nabi Muhammad tanggal 12
Robiul Awal 1365 H.
Sebelum
kejadian, sebagian personel TRI, API dan rakyat bersama-sama menghambat lajunya
pasukan Belanda dengan menebang kayu di kiri kanan jalan. Sementara warga,
khusus kaum perempuan dan anak diperintahkan untuk mengungsi ke hutan dan
kebun. Rabu malam tanggal 13 Februari 1946, suasana kampung Petaling gelap
mencekam, lampu penerangan semua dimatikan.
Kamis
pagi 14 Februari 1946, di tikungan Jalan Muntok Simpang Payabenua Kampung
Petaling, puluhan penduduk kampung setempat sudah berjaga-jaga dengan senjata
parang dan bambu runcing. Di antara puluhan warga tersebut hadir H. Separdi,
Remin (almarhum), Abdullah alias Jidul (almarhum), Daud (almarhum) dan
rekan-rekan lainnya yang saat itu baru berusia sekitar 20 an tahun. Rakyat di
Kampung Petaling bertekad akan melakukan perlawanan setelah mendengar kabar
kalau Belanda akan melewati kampung mereka.
Di
saat puluhan rakyat ini berkumpul dan memadati ruas jalan, dari arah
Pangkalpinang, muncul H Muhammad Nor dengan pakaian serba putih bersama
beberapa anak buahnya menggunakan mobil. Kedatangan H Muhammad Nor disambut
rakyat Petaling dengan gembira dan siap bergabung dengan pasukan HMuhammad Nor.
Mengingat
rakyat hanya bersenjata parang dan bambu runcing, H Muhammad Nor kemudian
menyarankan agar rakyat tidak melakukan pertempuran terbuka karena Belanda
memiliki persenjataan lengkap. Jika memang bertekad hendak bertempur, maka
harus menggunakan taktik bersembunyi dan sekali-sekali menyerang. Namun
sebagian dari rakyat tersebut ada yang nekat mengikuti H Muhammad Nor untuk
bertahan di Km 16 yang hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari tikungan
Jalan Muntok Simpang Payabenua Desa Petaling.
Di
Km 16 sudah menunggu sisa-sisa pasukan yang sebelumnya habis bertempur di
Kampung Puding, juga pasukan Mas’ud, Sersan Amir dan kawan-kawan, TRI dari
Toboali dan TRI dari Palembang. Tak lama menunggu, dari arah Muntok, pasukan
Belanda yang ditunggu-tunggupun tiba. Kebanyakan mereka bertelanjang dada
bermandikan keringat lantaran lelah menyingkirkan pohon-pohon kayu yang
ditebang oleh TRI, API dan rakyat sebagai rintangan.
Begitu
Belanda memasuki garis pertahanan di Km 16, pimpinan TRI H Muhammad Nor dengan
gigih memberikan Komando dan perlawanan. Di posisi paling depan di bawah batang
jengkol (ada yang mengatakan di bawah batang rukam), pimpinan TRI yang memiliki
ilmu kebal dan ngelimun (ilmu gaib
yang tidak bisa ditembus pandangan mata ole musuh) itu, terus memntahkan peluru
ke arah Belanda.
Tidak
seperti pertempuran di Puding Besar, pertempuran di Km 16 ini sangat merepotkan
tentara Belanda. Bagaimana tidak, satu persatu penjajah itu tewas akibat
diterjang akibat peluru panas yang tak diketahui dari mana asalnya, tentara
Belanda sempat kocar-kacir dan tidak
tahu harus melakukan perlawanan ke arah mana. Berkat ilmu ngelimunnya, H
Muhammad Nor berhasil mempecundangi Belanda. Bahkan menurut beberapa saksi
sejarah, ratusan tentara Belanda tewas dalam peristiwa di Km 16 ini.
Mayat-mayat NICA ini ditumpuk ke truck kemudian dibawa ke Muntok.
Disamping menghadapi muntahan
bakan
H Muhammad Nor), tentara Belanda
hadapi
serangan TRI lainnya. Belanda
dan
arah depan. Tentara Belanda yang
langsung
disabet dengan senjata tajam
cing.
Gempuran di Km 16 ini benar-benar
desak,
bahkan menurut M Ali Banj
mundur
ke arah Puding dan mem
berjaga-jaga
usai pertempuran di Petaling
Beberapa jam kemudian, tentara
Km
16 Petaling dengan mendapat
puran
kembali terjadi. Tentara Belanda
rang membabi buta.
Serangan diarahkan kepada barisan para anak buah H Muhammad Nor yang mengambil
posisis tak jauh dari H Muhammad Nor. Tindakan nekat tersebut justru semakin
memperbesar korban di pihak Belanda. Pasalnya, H Muhammad Nor, yang tidak dapat
dilihat dengan mata biasa (kecuali anak buahnya) dengan leleuasa menembak.
Tapi
tindakan nekat Belanda ini, lambat laun membuahkan hasil. Anak Buah H Muhammad
Nor yang giliran dibuat kocar-kacir. Dalam kondisi anak buahnya yang terdesak
inilah yang selanjutnya menjadi petaka dan hari naas sehingga pimpinan TRI H
Muhammad Nor gugur.
Diceritakan,
gugurnya H Muhammad Nor akibat pantangan yang dilanggar oleh anak buahnya
sendiri. Di saat terdesak dan dalam keadaan panik sedemikian rupa, salah
seorang anak buah H Muhammad Nor berteriak menyebut-nyebut nama beliau agar
segera mundur bersama-sama. Namun malang, ketika ada suara menyebut namanya,
kehebatan ilmu yang dimiliki oleh julukan Si
Bapak ini luntur seketika. Sosok tubuhnya serta merta terlihat oleh musuh,
H Muhammad Nor langsung diberondong peluru.
Kendati
di beberapa bagian tubuhnya sudah terkena tembakan, H Muhammad Nor masih
melakukan perlawanan dan menembak ke arah musuh. Dengan tubuh bersimbah darah,
sambil berteriak “Allah hu Akbar!”
pahlawan kelahiran Nibung Koba itu, terus mengadakan perlawanan.
Ketika
sebutir peluru susulan mengoyak dadanya, barulah perlawanan H Muhammad Nor
terhenti, dengan sekuat tenaga ia berusaha menyelamatkan diri. Tapi malang tak
dapat ditolak, aeorang tentara Belanda menghampiri beliau dan menghujam bayonet
ke punggung Si Bapak.
Hari
itu, Kamis pagi tanggal 14 Februari 1946, langit di ujung Km 16 Desa Petaling
sejenak mendung, seakan turut berduka melepas kepergian seorang pahlawan
bangsa. Hari itu juga, H Muhammad Nor yang merupakan satu-satunya TRI yang
gugur dalam pertempuran di Km 16 ini, di makamkan warga di Tempat Pemakaman
Umum (TPU) Desa Petaling. Kerangkanya dipindahkan ke Makam Padma Satria
Sungailiat pada tanggal 8 November 1973.
Beberapa
sumber menuturkan, setelah menghembuskan nafas terakhir, tentara Belanda dengan
kejam menyeret jenazah H Muhammad Nor hinnga Simpang Payabenua Kampung Petaling
atau kurang lebih sekitar 500 meter dari lokasi pertempuran. Jenazahnya
dibiarkan tergeletak begitu saja di tengah jalan. Baru setelah Belanda
melanjutkan perjalanan ke arah Pangkalpinang, sejumlah warga membopong jenazah
H Muhammad Nor dan membawanya ke rumah salah satu penduduk bernama H Satar
untuk dimandikan.
Menurut
penuturan Daud (almarhum) salah seorang saksi mata yang juga mantan Heiho dan API, saat jenazah H Muhammad
Nor sedang dimandikan di sebuah kolam belakang rumah H Satar, beberapa orang
tentara Belanda yang semula sudah pergi meninggalkan Simpang Payabenua,
tiba-tiba muncul kembali. Kedatangan Belanda yang tiba-tiba ini membuat warga
yang memandikan jenazah H Muhammad Nor berhamburan lari. Sungguh biadab, tubuh
H Muhammad Nor yang tak bernyawa itu dihujam Belanda dengan bayonet
berkali-kali sambil dikorek-korek.
Sumber
: Mokoginta Dasin, Ichsan dan
Dody Hendriyanto. 2009. Palagan 12: Api
Juang Rakyat Bangka. Pangkalpinang: CV Central Media Printing.
0 comments:
Post a Comment